Max Havelaar, Novel yang Mengungkap Pedihnya Kolonialisme

Khoirun Nikmah

Novel Max Havelaar diterbitkan oleh penerbit Qanita dengan ISBN 978-602-1637-45-6, tebal 480 halaman. Max Havelaar merupakan seorang Asisten Residen di Lebak. Buku ini bisa jadi sumber sejarah karena penulisnya, Multatuli, menulis novel ini berpedoman pada pengalamnnya sendiri di Lebak. Multatuli merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Dia mengabdi pada pemerintah kolonial di Hindia Belanda selama 18 tahun. Pada tahun 1856 dia kembali ke Eropa. Dia menuliskan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap bumiputra di Hindia Belanda. Eduard setelah kepulangnnya dari Belanda memilih menjadi seorang penulis dan dengan tegasnya mengkritik kebrobokan kolonial.  Sesuai dengan ungkapan Pramoedya Ananta Toer, kisah yang ditulis oleh Multatuli membunuh kolonialisme.

Max Havelaar dalam karya ini diceritakan sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda yang berpindah-pindah tugas. Havelaar pernah bekerja di Natal, Manado, Ambon dan terakhir di Lebak. Havelaar akhirnya bertugas di daerah Lebak di bawah Residen Banten. Havelaar membawa keluarga kecilnya yakni istrinya Tina dan anak laki-lakinya, Max jr. Max Havelaar digambarkan sebagai orang yang jujur, tegas, dan kinerjanya di ragukan pada awal kedatangnnya di Lebak. Namun Havelaar menunjukkan kerja yang bagus kepada pengawas Verbruge dan Duclari. Havelaar tinggal dirumah mantan asisten residen Lebak yang baru saja meninggal, Tuan Slotering. Dikabarkan bahwa tuan Slotering meninggal dengan cara tidak wajar seperti diracun. Hal ini diperkirakan karena Tuan Slotering ingin mengunggkapkan kebrobokan di daerah Lebak yang berujung kepada kematian.

Buku ini mengulas wilayah kekuasaan Belanda di wilayah Hindia Belanda. Gubernur Jendral dibantu oleh sebuah dewan. Namun dewan ini tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah keputusan-keputusannya. Di Batavia, cabang pemerintahan yang berbeda-beda dibagi menjadi departemen-departemen yang dikepalai oleh direktur, yang membentuk mata rantai antara pemerintahan tertinggi Gubernur Jendral dan Residen di provinsi-provinsi. Namun masalah-masalah yang bersifat politik, Residen-Residen berhubungan langsung dengan Gubernur Jendral.

            Istilah Residen berasal dari masa ketika Belanda lebih bertindak sebagai negara pelindung daripada penguasa feodal dan diwakili oleh pejabat-pejabat residen di istana milik beberapa pangeran yang berkuasa. Pangeran-pangeran itu sudah tidak ada, residen telah berubah menjadi pemerintah provinsi, mereka mendapat kekuasaan sebagai pejabat administratif. Kedudukan mereka berubah, tapi namanya masih bertahan.Sebenarnya, semua residen itu mewakili kekuasaan Belanda di mata penduduk Jawa yang tidak mengenal gubernur jendral, anggota-anggota dewan Hindia, ataupun para direktur di Batavia, mereka hanya mengenal residen dan para pejabat yang memerintah dibawahnya.

            Keresidenan beberapa diantaranya berpenduduk satu juta jiwa, dibagi menjadi tiga, empat, atau lima departemen atau kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang asisten residen. Dibawahnya, pemerintahan dilaksanakan oleh para pengawas, penilik, dan sejumlah pejabat lain yang diperlukan untuk pengumpulan pajak, pengawasan pertanian, pembangunan gedung, pengairan, polisi dan pelaksanaan hukum.

            Di setiap departemen, asisten residen dibantu oleh seorang pejabat pribumi berkedudukan tinggi yang bergelar “bupati” atau regent. Bupati walaupun hubungannya dengan pemerintah dan departemennya adalah pejabat bayaran, selalu berasal dari golongan bangsawan tinggi di daerahnya, dan seringkali dari keluarga pangeran yang telah memerintah wilayah itu atau daerah sekitarnya sebagai penguasa independen. Politik Belanda memang memanfatkan pengaruh feodal kuno pangeran-pangeran, yang di Asia pada umumnya sangat besar dan dipandang oleh sebagain besar suku sebagai bagian dari agama mereka. Karena dengan mengangkat mereka, terciptalah semacam hierarki yang dikepalai oleh pemerintah Belanda dan diwakili oleh gubernur jendral. 82

            Pejabat pribumi ditempatkan menjadi kepala sebuah distrik di Jawa, sebagai tambahan dari jabatan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan pengaruh pribuminya, untuk memudahkan pemerintah pejabat Eropa yang mewakili pemerintah Belanda. Di sini, pewarisan berdasarkan keturunan tanpa ditetapkan oleh undang-undang, juga menjadi adat kebiasaan. Ini sering diatur semasa bupatinya masih hidup, dan janji pewarisan kepada putranya itu dianggap sebagai imbalan atas ketekunan dan keetiaannya. 84

            Hubungan antara pejabat Eropa dan bangsawan Jawa yang berkedudukan setinggi itu sangat sensitif. Asisten residen di sebuah distrik adalah orang yang bertanggung jawab, dia memberi perintah-perintah dan dianggap sebagai kepala distrik. Namun bupati berkedudukan jauh lebih tinggi daripadanya, berdasarkan pengetahuan lokal, asa-usul, pengaruhnya terhadap penduduk, uang pendapatannya, dan cara hidupnya. Seorang bupati, sebagi representasi dari elemen Jawa dan dianggap corong dari ratusan ribu penduduk kabupatennya, di mata pemerintah juga dianggap sebagai orang yang jauh lebih penting daripada pejabat Eropa biasa yang ketidakpuasannya tidak perlu dikhawatirkan, karena banyak orang lain yang bisa menggantikan tepatnya, sedangkan ketidaksukaan seorang bupati mungkin menjadi bibit kerusuhan atau pemberontakan.85

            Berdasarkan semuanya ini, muncullah kenyataan ganjil bahwa bawahanlah yang sesungguhnya memerintah atasan. Asisten residen memerintah bupati untuk melapor kepadanya, dia memerintahkan bupati mengirimkan buruh untuk mengerjakan jembatan dan jalanan, dia memanggil bupati untuk menghadiri sidang dewan yang dipimpinnya sebagai asisten residen, dia menyalahkan bupati yang bersalah mengabaikan tugas. Hubungan ganjil ini hanya dimungkinkan dengan tata cara sangat sopan, dengan menggunakan keramahtamahan atau, jika perlu, ketegasan. 85

            Pendapatan pembesar Jawa bisa dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah upah tetap bulanan, kedua adalah jumlah tetap sebagai pengganti pembalian hak-hak mereka oleh pemerintah Belanda, ketiga adalah premi dari hasil produksi kabupaten mereka seperti kopi, gula, indigo, kayu manis,dll, dan pendapat yang terakhir adalah penggunaan tenaga dan harta rakyat mereka secara sewenang-wenang.  

            Dalam buku Max Havelaar, pokok persoalan ada pada bab 15. Dalam bab ini penulis buku mengunggkapkan kesewanang-wenangan yang terjadi di wilayah yang dikuasai Belanda, khususnya di Lebak. Dalam novel ini ditulis bahwa, Pemerintah Hindia Belanda gemar menulis surat ke majikan mereka di negeri Belanda, mengabarkan bahwa segalanya berjalan secara memuaskan. Para residen ingin memberitaka hal ini kepada pemerintah. Para asisten residen, hanya menerima laporan-laporan menyenangkan dari pengawasmasing-masing., juga tidak mengirimkaan hal-hal yang tidak menyenangkan kepada residen masing-masing. Dari semuanya ini muncullah laporan tertulis resmi yang menyiratkan keoptimisan palsu yang bukan tentag kebenaran, melainkan disertai pendapat yang sesungguhnya dari optimisme sendiri, begitu mereka menangani masalah-masalah yang saam ini secara lisan atau bahkan lebih mencurigakan lagi, secara bertentangan dengan laporan-laporan tertulis mereka sendiri. Laporan-laporan yang banyak kebohongan, terutama jika dilengkapi dengan angka-angka. Para residen menulis awal kalimat dalam laporannya dengan kalimat “kedamaian tetap damai”. Laporan dimanipulasi agar terkesan baik dan tidak ada masalah.

            Di tempat penduduknya tidak bertambah dikatakan sensus-sensus tahun lalu tidak akurat. Di tempat pajaknya yang tidak meeningkat , dikatakan keadaan ini pasti disebabkan perlunya mernedahkan pajak untuk mendorong pertanian, yang pada akhirnya, jika penulis laporan pension daritugasnya, pasti akan menghasilkan harta karun tidak ternilai. Ditempat berlangsungnya kerusushan yang tidak bisa ditutup-tutupi, dikatakan bahwa itu dilakukan oleh beberapa penjahat, dan tidak perlu dikhawatirkan lagi pada masa mendatang karena pada umumnya orang merasa puas. Di tempat kemiskinan atau bencana kelaparan menciutkan penduduk, ini dikatakan akibat paceklik, kekeringan, hujan, atau sesuatu yang lain dan TIDAK PERNAH KARENA KESALAHAN PEMERINTAH.

            Laporan resmi para pejabat kepada pemerintah dan juga laporan yang dibuat berdasarkan laporan resmi itu untuk dikirim ke pemerintah Belanda, sebagia besar dan pada bagian terpentingnya TIDAK BENAR. Presentase upah bagi orang Eropa dan para pejabat pribumi untuk produk-produk yang dijual di Eropa telah mengakibatkan terbengkalainya penanaman padi, sehingga di beberapa tempat terjadi bencana kelaparan yang tidak bisa dilenyapkan dari pandangan Belanda. Para penulis laporan-laporan menjemukan itu, yang menutup mata pemerintah dengan kebohongan-kebohongan mereka. Namun pemerintah menyetujui walaupun sangat enggan, penerpan-penerapan peraturan yang sekaan melindungi orang Jawa terhapad pemerasan dan perampasan.

            Pemerintah Belanda punya perkebunan kopi. Jika mendorong kerja di perkebunan-perkebuna itu atau, lebih baik lagi, memaksa kaum laki-laki dan perempuan untuk bekerja tanpa bayaran di perkebunan-perkebunan pemerintah, banyak kopi akan dihasilkan, dan bupati menerima presentase tertentu untuk setiap pikulnya.    

            Pejabat pemerintah dalam hal ini pejabat bumiputera sering melakukan kerja paksa, dan pundutan terhadap rakyat. Pundutan berarti meminta makanan, minuman, dan barang-barang dengan dalih melayani pemerintah. Di dalam perjalanan penting orang-orang yng diundang bupati atau pejabat distrik/kabupaten, semua kebutuhan dipasok oleh penduduk, dan diberikan sesering yang diperlukan. Contoh kisah tragis pundutan terjadi pada keluarga Saidjah. Seorang anak laki-laki yang kerbau milik ayahnyaa diambil demi kepentingan pemerintah.

            Bupati dengan kepentingannya sendiri, mamanggil penduduk untuk bekerja dengan jumlah yang jauh melebihi jumlah pancen atau kemit. Kemit merupakan para pengikut dan pelayan yang dipanggil untuk meningkatkan jumlah tenaga yang diperlukan, dan melayani pejabat atau orang penting lainnya. Pemanggilan yang berlebihan ini diperbolehkan oleh hukum. Dengan keadaan yang demikian Max Havelaar menuduh Bupati Lebak, Raden Adipati Kartanegara menyalahgunakan tenaga rakyatnya secara tidak sah dan melakukan pemerasan ketika meminta hasil bumi tanpa pembayaran. Semua itu ditulis Max Havelaar dalam suratnya kepada Residen Banten. Di Lebak sudah umum diketahui bahwa pemerasan itu untuk kepentingan dan di bawah perlindungan bupati, dan Residen tidak mau mengadukan Bupati kepada pemerintah di Bogor.

            Melihat kesewenang-wenangan yang terjadi dan Max havelaar tidak bisa menghentikan hal tersebut, dia memutuskan mengundurkan diri dari jabatan Asisten residen lebak. Havelaar menulis surat kepada Gubernur Jendral di Bogor, untuk memecatnya secara hormat.

Related Post