Jejak Awal Masuknya Islam ke Nusantara: Dari Dinasti Tang hingga Era Wali Song

Khoirun Nikmah

Berdasarkan catatan tertua dinasti Tang, Islam masuk ke Nusantara pada tahun 674 masehi yang dibawa saudagar dari Timur tengah. Para saudagar meyebarkan Islam di daerah wilayah kerajaan Kalingga. Pada tahun tersebut Islam di Timur Tengah terjadi peralihan dari Dinasti Ali ke Dinasti Umayah. Namun Islam yang dibawa saudagar dari Timur tengah ini tidak berkembang. Berita tentang penyebaran Islam muncul kembali pada abad ke sepuluh, pada abad ini suku dari Persia datang ke Nusantara dan bermukim di Kudus, di daerah Loran, kemudian berkembang ke daerah sepanjang Pantai Utara di Leran Gresik.  Pada abad 10 juga, Syekh Subakir dari Persia dikirim ke Jawa dan memberi tumbal pulau Jawa, hal ini dikarenkan Islam belum berkembang pada saat penyebar luasan ajarannya lewat para saudagar atau pedagang. Setelah dirasa cukup, Syekh Subakir kembali ke Persia.

Catatan Marcopolo pada tahun 1292 saat melakukan perjalanan dari Cina ke Italia lewat jalur laut menuju teluk Persia, dia singgah di Peurlak yang pada saat itu sudah banyak yang memeluk Islam dari bangsa Cina dan Persia. Sedangkan pribuminya masih menganut kepercayaan setempat atau lebih dikenal dengan istilah Dinamisme. Pada tahun 1405, Laksamana Cheng Ho datang ke Jawa dan singgah di Tuban, ada banyak keluarga Cina yang telah memeluk agama Islam di sepanjang Pantai Utara Tuban, Gresik dan Surabaya. Kunjungan Laksamana Cheng Ho yang ke tujuh pada tahun 1433 dan merupakan kunjungan yang terakhir, membawa ur tulis resmi yang bernama Ma Huan, dalam tulisan Ma-Huan sepanjang Pantai Utara Jawa dihuni oleh penduduk Cina, Persia dan Arab yang semuanya beragama Islam. Sedangkan pribumi masih kafir atau meneruskan kepercayaan nenek moyang.

Tujuh tahun setelah kedatangan Laksamana Cheng-Ho, datang seorang wali yang bernama Syekh Ibrahim Samar Qondi bersama dua orang putranya dari Campa (Vietnam Selatan). Mereka kemudian menetap di Tuban. Namun sebelum upaya menyebarkan agama Islam terwujud Samar Qondi meninggal, dan dimakamkam di Tuban. Kedua purtranya kemudian meneruskan cita-cita ayahnya. Mereka berdua kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel dan Sunan Gresik. Sunan Ampel dan Sunan Gresik merupakan keponakan dari istri raja Majapahit, kemudian oleh Raja, mereka berdua diberikan daerah Surabaya dan Gresik. Kemudian Sunan Ampel dan Sunan Gresik menikah, mempunyai keturunan dan memiliki banyak murid, akhirnya terbentuklah Wali Songo atau dalam bahasa Indonesia adalah Wali Sembilan yang berhasil menyebarkan Islam di Pulau Jawa dalam rentang waktu 40 tahun. Salah satu penyebab keberhasilan Wali Songo dalam menyebarkan Islam adalah metode dakwah yang di pakai tidak jauh dari tradisi masyarakat Jawa. misalnya pada zaman Majapahit terdapat dua kepercayaan dalam kerajaan saat Islam belum masuk yakni agama Hindhu-Budha dan kepercayaan Kapitaya.

Menurut Prof. Agus Sunyoto, di dalam struktur kerajaan Majapahit terdapat dua golongan yakni golongan Gusti dan Golongan Kawula. Golongan Gusti merupakan golongan yang hidup di dalam keratin dan menganut agama Hindhu-Budha. Kemudian golongan kedua adalah golongan kawula atau golongan budak yang merupakan golongan yang tidak mempunyai hak atas apapun di wilayah kerajaan. Golongan ini menganut kepercayaan Kapitaya. Untuk menarik golongan kawula, para wali menggunakan pendekatan budaya, misalnya menyebut sholat denga istilah sembahyang yang artinya sembah Hyang atau menyembah Tuhan yang maha Esa, kata ini merupakan istilah untuk memuja yang menciptakan kehidapandalam ajaran nenek moyang. Masayrakat kawula, menyebut tempat ibadah mereka dengan istilah sanggar, kemudian wali songo, yang dalam hal ini Sunan Kalijogo, meneyebut tempat beribadah untuk orang yang telah memeluk Islam bukanlah masjid, tetapi langgar/sanggar, yang tidak jauh dengan tradisi mereka. Dalam metode kapitayan, terdapat istilah upuwasa atau tidak makan dan minum selama sehari, kemudian berkembang menjadi istilah puasa.

Pada masa kerajaan Demak awal, Sunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar mulai menghilangkan dua golongan Gusti dan golongan Kawaula dengan istilah baru. Golongan Gusti menyebut diri mereka dengan istilah ingsun, sedangkan golongan kawula menyebut istilah lainnya kula/kulo/sahaya/saya/hamba. Kedua golongan tersebut dilebur menjadi satu dengan istilah masyarakat yang berasal dari bahasa Arab Musyarokah yang artinya orang yang sederajat.

Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menceritakan bahwa pada tahun 1513 saat dia singgah ke Jawa , di sepanjang pantai utara masayrakatnya muslim. Pada masa era penjajahan Belanda, keuatan Islam sangatlah besar, bahkan Belanda kewalahn menghadapai 112 perlawanan kaum muslim di Nusantara dalam mengusir kaum kafir Belanda pada tahun 1800-1900. Belanda di buat rugi banyak pada masa perang Jawa yang dipimpin oleh pengeran Diponegoro. Pasca perang Jawa, untuk membendung kekuatan Islam yang lebih besar, Belanda melakukan pembohongan sejarah dengan menyusun kitab Darmogandul dan Gatholoco. Bahkan Belanda mengarang kidung Sunda yang isinya peristiwa Bubat berisi perang antara Majapahit dan Sunda yang mengakibatkan kebencian orang orang Jawa dan Sunda. Belanda juga melakukan pembohongan sejarah dengan menuyusun kitab yang diletakkan di klenteng Sam Poo Kong Semarang.

Untuk membendung keuatan Islam di Nusantara, Belanda melakukan taktik klasifiklasi berdasarkan warna kulit, kelas satu untuk orang Belanda, kelas dua untung orang Timur Asing, dan kelas paling rendah adalah golongan irlander atau pribumi. Belanda membuat anak anak orang Islam dididik di sekolah agar tidak bergejolak.

Referensi

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Depok, Pustaka Iman, 2016)

Diponegoro, Babad Diponegoro, (Jakarta: Narasi, 2016)

Related Post